Penulis: Dr. Ferry Hadary, M. Eng.
Pasal 107 Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan bahwa (1) Pengemudi kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama kendaraan bermotor yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu, (2) Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari. Ayat kedua pada pasal tersebut tak pelak mengundang kontroversi di kalangan masyarakat.
Satu pihak mengatakan bahwa peraturan tersebut dikeluarkan untuk menekan angka kecelakaan yang selalu meningkat setiap tahunnya. Sementara pihak lainnya berpendapat bahwa peraturan tersebut suatu kekeliruan yang dipaksakan kepada masyarakat. Terlepas dari polemik tersebut, angka kecelakaan lalu lintas memang mengejutkan. Berdasarkan data dari Kepolisian Indonesia tahun 2006, Dr. Agus Taufik Mulyono dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada menyebutkan bahwa setiap 30 menit = 1 orang meninggal.
Khusus daerah Kalimantan Barat, angka kecelakaan pada triwulan pertama tahun 2006 meningkat 161,5 persen dibandingkan dengan triwulan tahun 2005. Dari data yang ada di Direktorat Lalu Lintas Polda Kalbar tersebut, jumlah korban meninggal meningkat 29,7 persen, luka berat meningkat 93,5 persen dan luka ringan meningkat tajam yakni 54,2 persen. Jika diakumulasikan pada kurun waktu 2005-2008 akan mencapai 3.872 kasus, dengan total korban luka ringan, berat dan meninggal mencapai 5.653 atau 1.413,25 orang setiap tahun. Pada tahun 2009 ini, Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Kalbar, Ajun Komisaris Besar (Pol) Ery Nursatari, menyebutkan bahwa sepanjang Januari hingga September telah tercatat 485 kasus, korban meninggal 246 orang, luka berat 247 orang, dan luka ringan 490 orang dengan kerugian materi sebesar Rp.1 miliar.
Tak pelak, data-data di atas membuat pihak berwenang mengeluarkan undang-undang tersebut. Namun, bagaimanakah pengaruh menyalakan lampu sepeda motor pada siang hari (atau disebut Daytime Running Lights/DRLs) sehingga dapat menekan tingkat kecelakaan lalu lintas? Tulisan ini akan mencoba mengkaji hal tersebut dari sudut pandang ilmiah.
Mata sebagai Sinyal Umpan Balik (Feedback Signal)/Sensor
Saat mengendarai kendaraan, mata adalah salah satu panca indera yang paling penting. Indera mata itulah yang menjadi sensor penghindar kecelakaan. Untuk dapat memberikan respon, mata membutuhkan suatu bentuk stimulus awal. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukanlah jarak, tetapi adanya saling kesesuaian antara stimulus dan respon. Jika seseorang melihat suatu objek maka stimulus yang mengenai mata bukanlah objeknya secara langsung, tetapi sinar yang dipantulkan oleh objek tersebut yang bekerja sebagai stimulus yang mengenai mata. Stimulus yang diindera itu lalu diorganisasikan dan kemudian diinterpretasikan sehingga seseorang tersebut menyadari, serta mengerti tentang apa yang diindera itu.
Mata bekerja dengan cara menangkap pantulan sinar yang diperoleh pada jarak pandang mata. Pantulan-pantulan itu akan menentukan persepsi pengendara terhadap warna, bentuk dan jarak. Semua variabel hasil pengukuran ini jelas memengaruhi reaksi pengendara kendaraan tersebut. Sinyal dari mata akan diteruskan ke otak yang berfungsi sebagai pengendali (controller), kemudian menghasilkan stimulasi gerakan tubuh (tactile atau body movement) yang dalam hal ini sebagai aktuator (actuator) untuk menjaga kestabilan dan gerak laju kendaraan.
Menurut Jakarta Defensive Driving Consulting/JDDC (2007), konsep mengemudi adalah pandangan aman, lingkaran/ruang aman dan tergantung dengan sikap atau prilaku. Dengan memiliki pandangan aman, maka pengemudi dapat mengenali objek sedini mungkin sehingga lebih waspada dan memiliki waktu untuk mengambil keputusan. Melalui pandangan aman, pengemudi dapat menciptakan lingkaran amannya sendiri. Ini disebabkan karena mengemudi kendaraan bermotor adalah aktivitas dinamis dimana situasinya selalu berubah. Oleh karena itu pengemudi dituntut harus selalu menjaga pandangan dan memelihara ruang aman untuk setiap pergerakannya. Semua konsep ini sangat tergantung pada panca indera mata sehingga jelas bahwa mata berfungsi sebagai sensor dan sangat penting peranannya.
Masih merujuk pada hasil penelitian JDDC, pandangan aman dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu (1) zona melihat, ini merupakan zona paling jauh dimana kita bisa melihat bahaya dari awal 30-120 detik ke depan. Zona ini paling aman karena memiliki waktu yang cukup untuk bermanuver dengan halus dan aman, (2) zona analisis, merupakan zona antara 12-15 detik di hadapan kita. Pada zona ini bisa dilihat bahaya dengan jelas sehingga harus menganalisis dan mengambil keputusan, dan (3) zona beraksi, yang merupakan zona terdekat, yaitu 4-6 detik ke depan sehingga apa yang akan terjadi pada objek di depan harus dapat diketahui dan jika tidak maka akan berbahaya.Dari ketiga zona tersebut, bagaimanapun membuktikan bahwa mata adalah sensor yang memberikan sinyal umpan balik pada pengemudi untuk menghindari kecelakaan, baik saat pandangan ke depan ataupun ke belakang melalui kaca spion.
Pengaruh Blind Spot Pada Peningkatan Kecelakaan Lalu Lintas
Mata dapat berfungsi sebagai sensor yang sangat baik, mengapa tingkat kecelakaan lalu lintas masih tinggi? Ini ada hubungannya dengan apa yang disebut dengan blind spot, yaitu area penglihatan pengguna jalan yang tak dapat dipantau dengan sempurna karena terhalang suatu objek yang bisa berbentuk pengguna jalan yang lain, sarana-prasarana lalu lintas, dan lain sebagainya.
Dari sebuah hasil penelitian, disebutkan bahwa blind spot adalah penyebab kecelakaan yang sering merenggut korban jiwa. Ini dapat dijelaskan dari sudut pandang biologis dan psikologis manusia. Jika terjadi suatu kondisi blind spot, maka yang muncul pada pengemudi tersebut adalah reaksi reflek atau keterkejutan. Pengemudi yang terlatih menghadapi bahaya kejutan cenderung bergerak reflek seperti mengerem atau menghindar ke arah yang lain. Dalam mekanisme reflek, rangsangan yang diterima langsung melewati sumsum tulang belakang dan diteruskan lewat efektor dengan sangat cepat melebihi gerak sadar yang harus melewati otak terlebih dahulu. Namun sebaliknya, pengemudi lainnya mungkin hanya dapat berteriak. Bahkan dalam kasus tertentu bisa saja malah menekan gas lebih dalam karena terkejut yang merupakan gerak reflek tak terkendali.
Yang juga perlu diperhatikan di sini adalah bahwa ketika berkendara maka kelajuan yang dicapai otomatis berpengaruh dalam menentukan energi kinetik. Ini dapat dijelaskan dengan sebuah teori kecepatan, bahwa semakin cepat laju kendaraan, semakin besar pula daya kinetik yang terjadi sehingga akan membuat jarak pengereman menjadi lebih panjang.
Pada dasarnya ketika kendaraan sedang bergerak, maka kestabilan kendaraan telah berkurang dan menyebabkan traksi roda pada permukaan lintasan ikut berkurang. Traksi roda didefinisikan sebagai kemampuan suatu kendaraan untuk mendorong atau menarik beban. Traksi biasanya terkait dengan kehilangan gesekan sewaktu terjadi percepatan, baik pada waktu awal gerak ataupun ketika kendaraan menyalip kendaraan lain. Oleh karenanya tidaklah mengherankan ketika objek kendaraan lain terlambat diamati, bahkan tidak terdeteksi lebih awal, maka kestabilan kendaraan akan berkurang disebabkan terjadinya proses pengereman, memindahkan transmisi dan mengubah kecepatan secara tiba-tiba.
Manfaat DRLs untuk Mengurangi Angka Kecelakaan
Seperti yang diketahui bersama, lampu adalah suatu alat yang dapat memproduksi cahaya dan cahaya itu sendiri adalah radiasi elektromagnetik yang mampu menyebabkan rangsangan kasat mata (visibilitas). Sementara, seperti pada uraian di atas, mengemudi kendaraan bermotor adalah aktivitas dinamis akibat adanya perubahan situasi. Secara umum kemampuan otak dan koordinasi fisik manusia hanya mampu bereaksi secara antisipatif terhadap benda yang bergerak dengan kecepatan 5-10 km/jam. Oleh karena itu reaksi antisipasi akan lamban jika sewaktu-waktu ada sepeda motor yang dipacu hingga kecepatan mencapai 100 km/jam. Ini dikarenakan kecepatan reaksi adalah jumlah stimulus yang diindera dan sangat berhubungan erat dengan unit waktu.
Karena itulah, mata membutuhkan cahaya, yang dalam kasus ini dihasilkan oleh lampu sepeda motor. Dengan adanya bantuan cahaya maka mata sebagai sensor akan cepat merangsang interpretasi pengemudi terhadap suatu benda sehingga mempercepat waktu untuk bereaksi. Mata akan lebih reaktif memprediksi jarak kendaraan lain, mengirim sinyal-sinyal ke otak dan kemudian mengkoordinasikannya dengan pergerakan tubuh. Cahaya lampu tersebut juga dapat mengurangi kondisi fatamorgana yang timbul akibat uap panas dari aspal jalanan. Karena itulah DRLs diberlakukan sebagai upaya memicu kecepatan reaksi antisipasi pengemudi sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Ditlantas Polda Metro Jaya telah membuktikan bahwa dengan adanya penerapan aturan DRLs tersebut mampu menekan angkat kecelakaan hingga lebih dari 20 persen hanya dalam jangka waktu dua bulan. Di Surabaya, pada tahun 2005, program ini berhasil mencatat penurunan angka kecelakaan sepeda motor hingga 50 persen. Sedangkan di negara lain, seperti Malaysia, Thailand bahkan Amerika dan Eropa, kecelakaan dapat dikurangi hingga mencapai 30 persen.Hasil persentase pada daerah atau negara lain di atas membuktikan tingkat efektifitas DRLs untuk menurunkan angka kecelakaan lalu lintas. Oleh karena itu masihkah menyalakan lampu sepeda motor pada siang hari mengundang kontroversi?
*Penulis adalah dosen di Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura.